11 September 2009

10 RAMADHAN TERAKHIR ~ MENCARI LAILATUL QADAR


Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah di bulan Ramadlhn dimana Allah swt telah menurunkan Alquran di malam tersebut. Menurut Ibnu Abbas Allah swt menurunkan Al Quran sekaligus dari lauh mahfudz ke baitul ‘izzah di langit dunia. Setelah itu ia diturunkan secara beransur-ansur sesuai realiti yang ada selama 23 tahun kepada Rasulullah saw.[1]

Keistimewaan Lailatul Qadar

Lailatul qadar juga memiliki keistimewaan dibandingkan malam-malam lainnya. Keistimewaan tersebut antara lain amalan di malam tersebut pahalanya lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83.3 tahun di luar malam tersebut. Allah swt berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (۱) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (۲) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (۳) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (۴) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (۵)

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada malam lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadar 1-5)

Menurut at-Thabary para ulama memiliki pendapat beragam tentang “malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan.” Ada yang mentakwilkan beramal dengan amalan yang diredhai Allah pada malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan selainnya. Mujahid mengatakan maksudnya adalah beramal, berpuasa dan shalat malam padanya lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang mengatakan bahwa lailatul qadar lebih baik dari bulan selain bulan Ramadlan.[2]

Selain itu orang yang shalat malam pada malam tersebut dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari Allah swt akan dihapuskan dosanya yang lalu dan yang akan datang.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat dimalamnya untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang (HR. Ahmad)

Oleh karena itu Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa berupaya untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir. Hal ini kerana besarnya keistimewaan lailatul qadar secara khusus disamping keutamaan yang ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan.

عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

Dari Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw jika masuk sepuluh malam terakhir Ramadlan beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarungnya.” (H.R. Muslim)

Menurut An-Nawawy frase ‘mengencangkan sarung’ adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah lebih dari malam-malam biasanya. Ada juga yang mengertikannya dengan menjauhi keluarganya untuk menyibukkan diri beribadah; menghidupkan malam maksudnya menghabiskannya hingga sahur dengan shalat dan ibadah lain; membangunkan keluarga artinya membangunkan mereka untuk melaksanakan shalat dan ibadah lain di malam hari; serius dalam beribadah artinya menambah dari yang biasanya. Hadits ini menurut beliau menunjukkan anjuran untuk menambah ibadah di malam terakhir Ramadlan.[3]

عَنْ عٌيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا بِمُلْتَمِسُهَا بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا فِي عَشْرِ الْأَوَاخِرِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ مِنْهُ قَالَ فَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعَِشْرِين مِنْ رَمَضَانَ كَصَلَاتِهِ فِيْ سَائِرِ السُّنَّةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ

Dari Uyainah bin Abdurrahman dari Bapaknya: “Saya membicarakan lailatul qadar di sisi Abu Bakrah kemudian beliau berkata: “Saya tidak mencarinya kecuali pada sepuluh malam terakhir setelah saya mendengarnya dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:”Carilah pada sepuluh malam terakhir yaitu pada malam-malam ganjil darinya. Lalu Bapak Abdurrahman berkata: “Abu Bakrah shalat pada 20 malam pertama di bulan Ramadlan sama sebagaimana shalatnya di hari-hari lain sepanjang tahun. Namun ketika memasuki sepuluh malam terakhir iapun bersungguh-sungguh.” (H.R. Ahmad dan menurut al-Arnauth sanadnya hasan)

عَنِ بْنِ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ قَالَ تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari Ibnu Buraidah ia berkata: Aisyah r.a. berkata: “Ya Nabi Allah bagaimana pendapatmu jika saya menjumpai malam lailatul qadar maka apa yang saya ucapkan. Beliau menjawab: Ucapkanlah: “Ya Allah sesungguhnya engkau maha pengampun dan mencintai orang-orang yang memohon ampun maka ampunilah saya”. (HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth sanadnya shahih)

Sifat-sifat Lailatul Qadar

Sejumlah riwayat telah memberikan tanda-tanda datangnya lailatul qadar baik pada saat terjadinya mahupun setelahnya.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:لَيْلَةُ القَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتَهَا ضَعِيفَةً حَمْرَاءَ

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Rasululullah saw bersabda: “Lailatul qadar adalah malam yang tenang, tidak panas dan tidak dingin. Pagi harinya matahari teduh dan berwarna merah.” (HR. Abu Daud at-Thayalisy. Menurut al-Haitsamy para perawi haditsnya tsiqah)

عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ سَمِعْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ هِيَ الَّتِي أَخْبَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ بَيْضَاءَ تَرَقْرَقُ

Dari Zar bin Habisy ia berkata: saya mendengar Ubay bin Ka’ab r.a. berkata: “Malam lailatul qadar adalah pada malam ke-27 yaitu malam yang menurut berita dari Rasullah kepada kami mataharinya terbit dengan cahaya yang putih bersinar.” (HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth hadits ini shahih)

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِىَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ، أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ، كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ، لاَ بَرْدَ فِيهَا وَلاَ حَرَّ، وَلاَ يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ، وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: “Malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat pada malam tersebut untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan malam tersebut ada pada malam ganjil yaitu malam ke-21, ke-23, ke 25, ke-27, dan ke-29. Rasulullah saw bersabda: “Malam lailatul qadar tanda-tandanya bersih dan tenang, seakan ada bulan yang bersinar, tenang dan lembut, tidak panas dan tidak dingin. Pada malam itu bintang tidak diperkenankan untuk dilemparkan hingga subuh. Pada pagi harinya matahari terbit dengan (cahaya) rata dan tidak terik. Sinarnya seperti bulan di malam purnama. Pada saat itu setan tidak dibebaskan untuk keluar. )HR. Ahmad menurut al Haitsamy para perawi hadits ini tsiqah)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي كُنْتُ أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، ثُمَّ نُسِّيتُهَا ، وَهِيَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا ، وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ ، لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ (وَزَادَ الزِّيَادِيُّ :) كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا يَفْضَحُ كَوَاكِبَهَا (وَقَالاَ :) لاَ يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيئَ فَجْرُهَا.

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Saya pernah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa. Ia berada malam sepuluh terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin (Azzayad memberi tambahan) ia seperti bulan yang menyingkap bintang-bintangnya. (keduanya berkata) pada malam itu syaitan tidak keluar hingga terbit fajar.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya)

Hadits-hadits diatas merupakan hadits yang layak untuk dijadikan sebagai sifat-sifat lailatul qadar. Memang terdapat sejumlah riwayat yang menjelaskan sifat laitul qadar namun hadits-hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Hadits tersebut antara lain: “Malam itu syaitan tidak dilepaskan dan tidak terjadi penyakit di dalamnya“(HR. Ibnu Abi Hatim); “pepohonan di malam itu jatuh ke bumi kemudian kembali lagi ke posisinya dan segala sesuatu pada malam itu sujud“(HR. at-Thabarany) dan; “Sesungguhnya air masin pada malam itu menjadi tawar” (HR. al-Baihaqy). Kesemua hadits tersebut tidak sahih apalagi bertentangan dengan fakta yang ada.

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang tidak panas dan juga tidak dingin seperti malam sebelum dan setelahnya, malam itu terasa tenang dan cerah seakan malam itu terbit bulan purnama, tidak ada angin yang bertiup, badai, hujan debu dan kabut. Demikian pula malam itu tidak terlihat meteor jatuh. Malam itu juga jiwa terasa tenang yang merupakan rahmat dari Allah kepada hambanya di malam yang mulai dan penuh berkah tersebut.

Pada pagi harinya matahari bersinar dengan cahaya yang merah dan lemah seperti ketika hendak terbenam sehingga mudah dilihat kerana tidak menyakiti mata. Meski realitas sinar matahari tetap sebagaimana biasanya namun keadaan tersebut boleh diakibatkan oleh cuaca yang sejuk, atau kerana tersebarnya awan tipis, kabus tipis sehingga menutupi sebahagian sinarnya.[4]

Waktu Lailatul Qadar

Di dalam kitab Fathul Bary, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa para ulama telah berbeza pendapat bila terjadinya lailatul qadar dengan lebih dari 40 pendapat. Beliau kemudian menyebutkan masing-masing pendapat tersebut yang berjumlah 46 pendapat. Pendapat tersebut antara lain: lailatul qadar dapat terjadi pada setiap malam, hanya pada seluruh malam di bulan Ramadhan, malam ke-17 Ramadhan, pertengahan 10 malam kedua, malam ke-19, malam ke-21, malam ke-23, malam ke-27, dan malam-malam ganjil di sepuluh terakhir.

Setelah mengemukakan seluruh pendapat tersebut Ibnu Hajar berkata: dan yang saya tarjih dari berbagai pendapat tersebut adalah lailatul qadar berada pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir yang berpindah dari satu malam ke malam yang lain sebagaimana yang difahami dari sejumlah hadits pada bab ini. Boleh saja terjadi pada malam 21 sebagaimana yang dikemukakan oleh kalangan Syafi’iyyah atau malam 27 sebagaimana yang dipegang oleh Jumhur berdasarkan hadits-hadits yang mereka jadikan pegangan.

Dengan demikian penetapan malam lailatul qadar memerlukan adanya tarjih dari sejumlah pendapat tersebut dengan bersandar pada riwayat-riwayat yang maqbul.

Dalam masalah ini terdapat sejumlah hadits yang disepakati oleh Buhari-Muslim dan ada pula yang diriwayatkan sendiri-sendiri oleh mereka serta hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka berdua. Prinsip yang dijadikan pengangan dalam mentarjih hadits-hadits tersebut adalah beristidlal dengan hadits yang disepakati oleh Bukhari Muslim lebih diutamakan dari yang lain. Demikian pula jika terjadi pertentangan atau perbezaan antara hadits shahih dengan hadits hasan maka yang diambil adalah hadits shahih jika keduanya tidak dapat disatukan.

Selain itu jika terdapat hadits Nabi tentang satu masalah kemudian terdapat pendapat sahabat yang bertentangan dengan hadits tersebut maka pendapat sahabat tersebut diabaikan.

Dari sejumlah nash yang ada terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang mengatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: saya pernah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa. Ia berada malam sepuluh terakhir. (HR. Bukhari-Muslim)

Dari hadits di atas Rasulullah saw menjelasakan bahawa beliau pernah mengetahui malam lailatul qadar kemudian dibuat lupa mengenai waktu terjadinya. Dengan demikian jika Rasulullah saw saja lupa bila pastinya lailatul qadar maka selain beliau tentu tidak dapat memberikan penetapan bila waktu terjadinya. Namun demikian beliau memberikan batasan bahawa ia terjadi pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Tidak ada hadits yang kualitinya sama yang bertentangan dengan hadits ini. Adapun hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits tersebut kualitinya lebih rendah. Demikian pula hadits-hadits tersebut tidak dijelaskan apakah dikeluarkan lebih dahulu atau setelah hadits tersebut. Dengan demikian nasakh tidak dapat ditetapkan pada masalah ini.

Memang sejumlah sahabat dan fuqaqah telah menetapkan bila waktunya lailatul qadar berdasarkan tanda-tanda yang telah dinyatakan dalam sejumlah hadits. Namun demikian penetapan tersebut bersifat dzanny dan tidak sampai pada derajat qath’iy. Sebagai contoh Ubay bin Ka’ab yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-27.

عَنْ زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ - رضى الله عنه - فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمِ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِى رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِى أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِى أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

Dari Zirra bin Hubaisy ia berkata: saya bertanya kepada Ubay bin Ka’ab r.a. dan mengatakan: Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata: barangsiapa yang mendirikan shalat malam setahun maka ia akan mendapati Lailatul Qadar. Maka beliau berkata: semoga Allah merahmatinya, Allah tidak bermaksud membebani manusia. Bukankah ia telah mengetahui bahwa lailatul qadar pada bulan Ramadhan dan berada pada sepuluh terakhir darinya yakni pada malam ke-27. kemudian beliau bersumpah bahawa tidak terjadi kecuali pada malam ke-27, maka saya berkata: apa dasarmu wahai Abu Mundzir? Ia menjawab: tanda-tanda yang telah diinformasikan Rasul kepada saw mengenai lailatul qadar ada pada saat itu dan ia tidak tersebar (HR. Muslim)

Dari hadits diatas jelas bahwa penetapan malam ke-27 tersebut bukan merupakan statemen Rasul saw namun merupakan kesimpulan Ubay dari tanda-tanda yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Adapan sumpah beliau tidak lantaran menjadikan waktu tersebut qath’iy pada malam ke-27 karena ia merupakan hasil ijtihad yang sifatnya dzanny. Andaikan pendapat beliau adalah hal yang qathiy niscaya sahabat yang lain tidak ada yang menselisihinya.

Para sahabat juga berbeza dalam menetapkan lailatul qadar berdasarkan pemahaman mereka terhadap keterangan yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. Said al-Khudri misalnya menyatakan bahwa lalilatul qadar jatuh pada malam ke-21 sementara Abdullah bin Unais yang berkesimpulan bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ke-23.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَأَرَانِى صَبِيحَتَهَا أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ. قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ انْصَرَفَ وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّينِ لَعَلَى أَنْفِهِ وَجَبْهَتِهِ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ يَقُولُ : ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ.

Dari Abdullah bin Unais bahwa Rasulullah saw bersabda: “Saya melihat malam lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa dan saya bermimpi pada subuh harinya sujud di atas tanah dan air. lalu Abdullah berkata: telah terjadi hujan pada malam ke-23 dan Rasulullah saw shalat bersama kami dan setelah itu beliau berpaling dan nampak bekas air dan tanah pada jidad dan hidungnya. Abdullah bin Unais berkata: malam itu ke-23. (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَلْيَرْجِعْ فَرَجَعْنَا وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءٍ قَزَعَةَ؛ فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ، وَأَقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي جَبْهَتِهِ

Dari Abu Said ia berkata: Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw pada sepuluh malam kedua, lalu beliau keluar pada subuh hari ke-20 dan berkhutbah: “Sesungguhnya saya telah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa, maka carilah pada sepulu malam terakhir di malam ganjil. Saya bermimpi saya sujud di atas tanah dan air. Barangsiapa yang beri’itikaf bersama Rasulullah saw maka kembalilah, maka kami pun kembali. Kami tidak tidak melihat di langit ada awan tipis namun setelah itu datang awan mendung dan turun hujan hingga merembes ke atap mesjid yang terbuat dari pelepah kurma. Shalat kemudian dilaksanakan dan saya melihat beliau sujud di atas tanah dan air sehingga nampak bekas tanah pada jidadnnya. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Bukhari lainnya Ibnu Said berkata: مِنْ صُبْحِ إِحْدى وَعِشْرِيْنَ (Peristiwa itu) pada subuh hari malam ke-21).

Namun demikian terdapat banyak riwayat lain yang bersifat mutlaq yang tidak membatasi bila Rasulullah sujud di atas tanah dan air. Sementara pada hadits di atas terdapat batasan (taqyid) yang berbeza yaitu malam ke-21 dan malam ke-23. Meski demikian hadits di atas dapat dikompromikan. Sehingga prinsip mengamalkan seluruh dari dalil lebih dari mengabaikan sebagian dapat diterapkan. Rasulullah dalam banyak riwayat tidak membatasi bila beliau bermimpi sujud di atas air dan tanah. Namun ketika subuh hari malam ke-21 dan malam ke-23 terjadi hujan sehingga Abu Said menganggap malam ke-21 adalah lailatul qadar sementara Abdullah bin Unais berpandangan bahwa malam ke-23 adalah lailatul qadar.

Hal lain yang perlu ditegaskan adalah pernyataan Rasulullah saw bermimpi sujud di atas air dan tanah adalah pernyataan terpisah dari pernyataan beliau tentang lailatul qadar. Sehingga sujud di atas tanah dan air tidak dapat dijadikan sebagai tanda lailatul qadar.

Apalagi terdapat sejumlah riwayat yang jelas yang menyatakan bahawa rentang waktu terjadinya lailatul qadar adalah malam ganjil sepuluh malam terakhir dimana Rasulullah saw mendorong manusia untuk mencarinya di waktu-waktu tersebut. Rasulullah saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِى لَيْلَةُ الْقَدْرِ وَإِنِّى خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِهَا فَجَاءَ رَجُلاَنِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ الْتَمِسُوهَا فِى التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

“Wahai sekalian manusia dulu telah jelas padaku lailatul qadar. Kemudian ketika saya bermaksud keluar menginformasikannya kepada kalian, maka datang dua orang yang bersama setan lalu saya dilupakan tentang malam tersebut. maka carilah pada malam ke-21, ke-23 dan ke-25.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dinyatakan:

عَنْ عٌيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا بِمُلْتَمِسُهَا بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا فِي عَشْرِ الْأَوَاخِرِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ مِنْهُ قَالَ فَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعَِشْرِين مِنْ رَمَضَانَ كَصَلَاتِهِ فِيْ سَائِرِ السُّنَّةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ

Dari Uyainah bin Abdurrahman dari Bapaknya: “Saya membicarakan lailatul qadar di sisi Abu Bakrah kemudian beliau berkata: “Saya tidak mencarinya kecuali pada sepuluh malam terakhir setelah saya mendengarnya dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:”Carilah pada sepuluh malam terakhir yaitu pada malam-malam ganjil darinya. Lalu Bapak Abdurrahman berkata: “Abu Bakrah shalat pada 20 malam pertama di bulan Ramadlan sama sebagaimana shalatnya di hari-hari lain sepanjang tahun. Naamun ketika memasuki sepuluh malam terakhir iapun pun bersungguh-sungguh.” (H.R. Ahmad dan menurut al-Arnauth sanadnya hasan)

Kedua hadits diatas menujukkan bahwa Rasulullah saw menyerukan kaum muslim untuk bersungguh-sungguh pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir.

Rasulullah bahkan mengatakan bahawa lupanya beliau terhadap lailatul qadar merupakan kehendak Allah dan hal tersebut merupakan hal yang baik bagi kaum muslim. Dengan demikian kaum muslim dapat memperbanyak amalan di malam-malam yang kemungkinan terjadinya lailatul qadar dan tidak hanya fokus beribadah di satu malam saja yang dianggap lailatul qadar.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتُ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ أَوْ السَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ

Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: Rasulullah saw keluar bersama kami dan beliau bermaksud menginformasikan kepada kami lailatul qadar. Lalu datang dua orang berselisih maka beliau bersabda: “Saya keluar dan bermaksud menginformasikan lailatul qadar lalu datang dua orang berselisih maka (waktu lailatul qadar tersebut) diangkat dari saya. Semoga itu lebih baik bagi kalian. Maka carilah ia pada malam ke-21, ke-23 atau ke-25. (H.R. Bukhari)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْمَنَامِ فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa orang-orang dari Sahabat Nabi saw bermimpi melihat lailatul qadar pada pada tuju malam terakhir maka Rasulullah saw bersabda. Saya pun melihat mimpi kalian dan sama yaitu pada tujuh terakhir. Barangsiapa yang berupaya mendapatkannya maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (HR. Bukhari)

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا.

Dari Salim dari Bapaknya r.a. berkata: Seorang laki-laki berkata bahwa lailatul qadar pada pada malam ke-27. Maka Nabi saw bersabda: “Saya melihat mimpi kalian bahwa ia berada pada sepuluh malam terakhir maka carilah pada hari-hari ganjilnya.” (HR. Muslim)

ابْنَ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى ».

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata. Rasulullah saw bersabda: “Carilah lailatul qadar pada sebelum malam terakhir. Jika diatara kalian ada yang merasa lemah maka janganlah mengabaikan tujuh malam terakhir.” (H.R. Muslim)

Riwayat tersebut menyebutkan perintah untuk mencarinya di malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan tujuh malam terakhir. Dimana antara tujuh malam terakhir dan sepuluh malam terakhir tidak ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadar ada pada malam-malam tersebut. Hal ini diperkuat oleh hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw meningkatkan keseriusannya beribadah pada malam sepuluh terakhir yang berlangsung hingga beliau wafat.[5]

Penutup

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw pernah mengetahui bila terjadinya lailatul qadar kemudian Allah swt membuat beliau lupa hingga ia diwafatkan. Dengan demikian siapapun selain beliau termasuk sahabat tidak dapat menentukan bila pastinya lailatul qadar. Meski demikian beliau telah memberikan rentang waktu terjadinya malam lailatul qadar yakni di sepuluh terakhir bulan Ramadlan pada malam-malam ganjil. Dengan kata lain lailatul qadar dapat terjadi pada malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27 dan ke-29.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِىَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ، أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ.

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: “Malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat dimalamnya untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan malam tersebut ada pada malam ganjil 21, 23, 25, 27, dan 29.” (HR. Ahmad menurut al Haitsamy para perawi hadits ini tsiqah). Wallahu a’lam bisshawab. (muis)


[1] Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al-Adzhim, VIII/441, al-Maktabah as-Syamilah.

[2] Ibnu Jarir, Tafsir at-Thabaty, XXVI/533, al-Maktabah as-Syamilah.

[3] An-Nawawy, Syarh an-Nawawy ‘ala Muslim-, VIII/80, al-Maktabah as-Syamilah

[4] Mahmud Latif Uwaidhah, al-Jami’ li ahkami as-Shiyam, hlm. 258

[5] Penjelasan lebih detail mengenai masalah ini lihat Mahmud Latif Uwaidhah, al-jami’ li ahkam as-Shiyam, hlm.260

20 Ogos 2009

LAILATULQADAR MALAM YANG DINANTI OLEH MUKMIN

10 akhir Ramadhan adalah merupakan di antara malam-malam yang penuh dengan keberkatan dan kelebihan yang tertentu. Malam-malam ini adalah merupakan malam yang ditunggu-tunggu oleh seluruh orang mukmin. Bulan Ramadhan, Al Quran dan malam Lailatulqadar mempunyai hubungan yang rapat antara satu sama lain sebagaimana yang diterangkan di dalam kitab Allah dan hadis Rasulullah s.a.w. di antaranya firman Allah s.w.t.

Maksudnya: "Sesungguhnya kami menurunkan Al-Quran pada malam Lailatulqadar dan apakah yang menyebabkan engkau mengerti apa itu Lailatulqadar. Lailatulqadar lebih baik daripada 1000 bulan. Pada malam itu, para malaikat dan Jibril turun dengan keizinan daripada Tuhan mereka untuk setiap urusan. Malam ini sejahtera hingga terbit fajar".

Sebab turun surah al-Qadr

Lailatulqadar mempunyai kelebihan yang begitu besar. Ianya lebih baik dari 1000 bulan yang lain. Sebab diturunkan ayat tersebut diriwayatkan daripada Mujahid dikatakan sebab turun ayat tersebut ialah Nabi s.a.w. telah menyebut tentang seorang lelaki daripada Bani Israel yang telah menggunakan alat senjatanya untuk berperang pada jalan Allah maka orang Islam pun kagum di atas perbuatan itu lalu Allah menurunkan ayat di atas.

Riwayat yang lain pula dari Ali bin Aurah pada satu hari Rasulullah telah menyebut 4 orang Bani Israel yang telah beribadah kepada Allah selama 80 tahun. Mereka sedikitpun tidak derhaka kepada Allah lalu para sahabat kagum dengan perbuatan mereka itu. Jibril datang memberitahu kepada Rasulullah bahawa Allah w.s.t. menurunkan yang lebih baik dari amalan mereka. Jibril pun membaca surah Al Qadar dan Jibril berkata kepada Rasulullah ayat ini lebih baik daripada apa yang engkau kagumkan ini menjadikan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat amat gembira.

Daripada ayat di atas dapatlah kita ketahui bagaimana besar kelebihan orang yang beribadah pada malam lailatulqadar. Ianya satu malam menyamai beramal 1000 bulan.

Dalam hadis Rasulullah s.a.w. menyebut,

Maksudnya: "Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah pada 10 akhir bulan Ramadhan lebih daripada yang lainnya"

Rasulullah s.a.w. melakukan ibadah pada malam itu bukan hanya setakat baginda sahaja tetapi baginda menyuruh ahli keluarga bangun bersama beribadah. Kata Aisyah r.a.

Maksudnya: "Nabi s.a.w. apabila masuk 10 akhir bulan Ramadhan baginda mengikat kainnya. Menghidupkan malam dengan beribadah dan membangunkan keluarganya untuk sama-sama beribadah. Mengikat kainnya bermaksud bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah."

16 April 2009

Lima Tanda Hati Keras

Hati adalah sumber ilham dan pertimbangan, tempat lahirnya cinta dan benci, keimanan dan kekufuran, taubat dan sikap degil, ketenangan dan kebimbangan. Hati juga sumber kebahagiaan jika kita mampu membersihkannya namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika kita gemar menodainya. Aktiviti yang dilakukan sering berpunca daripada lurus atau bengkoknya hati. Abu Hurairah r.a. berkata, "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentera. Jika raja itu baik, maka akan baik pula lah tenteranya.. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tenteranya".

Hati yang keras mempunyai tanda-tanda yang boleh dikenali, di antara yang terpenting adalah seperti berikut:

  1. Malas melakukan ketaatan dan amal kebajikanTerutama malas untuk melaksanakan ibadah, malah mungkin memandang ringan. Misalnya tidak serius dalam menunaikan solat, atau berasa berat dan enggan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah. Allah telah menyifatkan kaum munafikin dalam firman-Nya yang bermaksud, "Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." (Surah At-Taubah, ayat 54)
  2. Tidak berasa gerun dengan ayat al-QuranKetika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, hatinya tidak terpengaruh sama sekali, tidak mahu khusyuk atau tunduk, dan juga lalai daripada membaca al-Quran serta mendengarkannya. Bahkan enggan dan berpaling daripadanya. Sedangkan Allah S.W.T memberi ingatan yang ertinya, "Maka beri peringatanlah dengan al-Quran orang yang takut dengan ancaman Ku." (Surah Al-Qaf, ayat 45)
  3. Berlebihan mencintai dunia dan melupakan akhiratHimmah dan segala keinginannya tertumpu untuk urusan dunia semata-ma ta. Segala sesuatu ditimbang dari segi keperluan dunia. Cinta, benci dan hubungan sesama manusia hanya untuk urusan dunia sahaja. Penghujungnya jadilah dia seorang yang dengki, ego dan individulistik, bakhil serta tamak terhadap dunia.
  4. Kurang mengagungkan AllahSehingga hilang rasa cemburu dalam hati, kekuatan iman menjadi lemah, tidak marah ketika larangan Allah dilecehkan orang. Tidak mengamal yang makruf serta tidak peduli terhadap segala kemaksiatan dan dosa.
  5. Tidak belajar dengan Ayat KauniahTidak terpengaruh dengan peristiwa-peristiwa yang dapat memberi pengajaran, seperti kematian, sakit, bencana dan seumpamanya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai perkara biasa, padahal cukuplah kematian itu sebagai nasihat. "Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahawa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pel ajaran?" (Surah At-Taubah, ayat 126)

17 September 2008

Wasiat Rasullullah SAW

Berikut ini saya nukilkan kembali wasiat Baginda Rasulullah saw. pada malam terakhir bulan Sya’ban, dalam khutbah Beliau saat menyambut datangnya bulan Ramadhan:


Wahai manusia!

Sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah yang membawa berkah, rahmat dan maghfirah; bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya paling utama. Malam-malamnya paling utama. Jam demi jamnya paling utama. Inilah bulan ketika kalian diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya.

Pada bulan ini nafas-nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadah, amal-amal kalian diterima dan doa-doa kalian diijabah. Bermohonlah kepada Allah, Tuhan kalian, dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Dia membimbing kalian untuk melakukan shaum dan membaca Kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah pada bulan agung ini…

Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin. Muliakanlah orang tua. Sayangilah yang muda. Sambungkanlah tali persaudaraan. Jagalah lidah. Tahanlah pandangan dari apa yang tidak halal kalian pandang. Peliharalah pendengaran dari apa yang tidak halal kalian dengar…

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosa. Angkatlah tangan-tangan kalian untuk berdoa pada waktu solat. Itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah ‘Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih. Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia!

Sesungguhnya diri kalian tergadai kerana amal-amal kalian. Karena itu, bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggung kalian berat karena beban (dosa). Karena itu, ringankanlah dengan memanjang sujud.

Ketahuilah! Allah Swt. bersumpah dengan segala kebesaran-Nya, bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang solat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan-Nya.


Wahai manusia!

Siapa saja di antara kalian memberi makanan/minuman kepada orang-orang Mukmin yang berpuasa pada bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu…

Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.


Wahai manusia!

Siapa yang membaguskan akhlaknya pada bulan ini, ia akan berhasil melewati siratulmustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) pada bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya pada Hari Kiamat. Siapa saja yang menahan kejelekannya pada bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Siapa saja yang memuliakan anak yatim pada bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Siapa saja yang menyambungkan tali silaturrahim pada bulan ini, Allah akan menghubungkannya dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Siapa saja yang memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Siapa saja yang melakukan solat sunat pada bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Siapa saja yang melakukan solat fardhu, baginya pahala seperti melakukan 70 solat fardhu pada bulan lain. Siapa saja yang memperbanyak selawat kepadaku pada bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Siapa saja pada bulan ini membaca satu ayat al-Quran, pahalanya sama seperti mengkhatamkan al-Quran pada bulan-bulan yang lain.


Wahai manusia!

Sesungguhnya pintu-pintu syurga dibukakan bagi kalian. Kerana itu, mintalah kepada Tuhan kalian agar tidak pernah menutupkannya bagi kalian. Sesungguhnya pintu-pintu neraka tertutup. Karena itu, mohonlah kepada Tuhan kalian untuk tidak akan pernah membukakannya bagi kalian. Sesungguhnya syaitan-syaitan terbelenggu. Kerana itu, mintalah agar mereka tak lagi pernah menguasai kalian…


Wahai manusia!

Sesungguhnya kalian akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyâm pada malam harinya suatu tathawwu’.

Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu amal kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.

Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada Mukmin di dalamnya.

Siapa saja yang memberikan makanan berbuka kepada seseorang yang berpuasa, yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang…

Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Siapa saja yang meringankan beban dari budak sahaya, niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.

Kerana itu, perbanyaklah empat perkara pada bulan Ramadhan: dua perkara untuk mendatangkan keredhaan Tuhan kalian; dua perkara lagi yang sangat kalian perlukan. Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahawa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampunan kepada-Nya. Dua perkara yang sangat kalian perlukan ialah mohon syurga dan perlindungan dari neraka.

Siapa saja yang memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Nya, dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.

[HR Ibnu Khuzaimah]

15 September 2008

Keutamaan Bulan Ramadhan

RAMADHAN sudah kepertengahan bulan dan bakal diakhiri tak lama lagi. Adakah masih boleh aku ketemu kembali Ramadhan di tahun depan? Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Dengan sisa-sisa 2 minggu terakhir Ramadhan ini, kupohon diberikan kekuatan untuk aku lebih bertaqarrub kepadaMU Ya Allah!!
Ramadhan: Bulan Mengendalikan Hawa Nafsu
Biasanya, sering kita mengatakan atau mendengar bahwa puasa (shaum) berfungsi untuk menundukkan hawa nafsu kita. Namun, yang dimaksud sekadar menahan nafsu makan dan minum, tidak berbohong, tidak bertengkar, atau aktiviti lain yang bersifat moral semata. Kalaupun faktanya demikian maka sebenarnya telah terjadi penyempitan makna dari menundukkan hawa nafsu itu sendiri.
Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran dan al-Hadist) menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS an-Najm [53]: 3-4).
Dalam ayat di atas, Allah SWT secara tegas menjelaskan bahwa hawa nafsu dan wahyu saling berbeda. Hawa nafsu adalah segala bentuk dorongan yang berasal dari dalam diri manusia. Oleh karena itu, hawa nafsu tidak hanya terbatas pada aspek moral saja, melainkan menyangkut seluruh dorongan ada dalam diri manusia yang mewujud dalam seluruh aktiviti. Sebaliknya, wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulullah saw. berupa perintah dan larangan. Wahyu ini yang harus mengendalikan hawa nafsu manusia. Jika hawa nafsu manusia tidak dibimbing wahyu, ia akan cenderung pada keburukan.
Kerana itu, ketika bulan Ramadhan dikatakan sebagai bulan menundukkan hawa nafsu, maka yang seharusnya terbayang dalam benak kita adalah kita mencampakkan dan membuang jauh-jauh seluruh aktiviti yang dilarang oleh Allah SWT. Selain kita meninggalkan meng-gîbah orang lain, kita juga harus meninggalkan upaya mempraktikkan apalagi mempropagandakan sekularisme, literalisme, pluralisme, feminisme, sinkretisme (penyamaan semua agama), kapitalisme, pornografi, dan faham-faham sesat lainnya; kita juga harus menghentikan kezaliman terhadap rakyat seperti menaikan harga bahan bakar yang sebenarnya tidak rasional; kita juga harus meninggalkan aktiviti menghalang-halangi atau bahkan menfitnah agama dan dakwah Islam.
Kita pun harus berusaha untuk tidak melakukan praktik riba, bermuamalat secara kapitalis, berpolitik maciavelis, bernegara tanpa undang-undang yang dilandasi al-Quran dan al-Hadis, mempertahankan sistem aturan manusia, berinteraksi dalam masyarakat tanpa patokan-patokan sistem sosial kemasyarakatan yang islami, serta menjalani seluruh kehidupan tanpa syariat Islam. Semua itu harus kita tinggalkan sebagaimana kita berusaha untuk meninggalkan sifat iri, dengki, sombong, takbur dan seluruh sifat buruk yang lainnya.
Selanjutnya kita harus bergiat diri dan bersemangat untuk bersama-sama, bahu-membahu, dan terlibat aktif dalam menjalankan roda dakwah; menyeru penguasa yang zalim untuk bersegera menerapkan syariat Islam; menyeru masyarakat untuk bersegera terikat dengan syariah. Bukan sebaliknya, rakyat dinasihati supaya sabar menghadapi kesulitan hidup, sementara penguasa yang menyebabkan kesulitan hidup rakyatnya malah dibiarkan. Ramadhan mengharuskan kaum Muslim terikat dengan aturan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dîn (agama, sistem hidup) maka tidak akan diterima apapun darinya serta dia di akhirat termasuk orang yang merugi. (QS Ali Imran [3]: 85).
Allah SWT juga berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah? (QS al-Maidah [5]: 50)
Dari dua ayat di atas nampak jelas bahwa kita diminta untuk berhukum pada apa saja yang telah disyariatkan oleh Allah SWT melalui al-Quran dan al-Hadis; bukan sepotong-sepotong, tetapi seluruhnya. Itulah hakikat sebenarnya dari upaya menundukkan hawa nafsu. Apabila kita telah mampu menundukkan hawa nafsu sebagai wujud dari puasa kita, kita akan menjadi insya Allah manusia yang benar-benar bertakwa, sebagaimana firman Allah-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (QS al-Baqarah [2] 183).
Ramadhan Bulan Utama
Memang benar, bulan Ramadhan adalah bulan yang setiap detik, minit, jam, dan hari-harinya penuh dengan keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut antara lain,
Pertama:
Ramadhan membentuk pribadi Mukmin yang taat secara total kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. dalam seluruh perkara yang diperintahkan ataupun yang dilarang-Nya. Tidak ada keraguan di dalam hatinya untuk menjalankan Islam secara kâffah (menyeluruh), baik dalam hal akidah maupun hukum-hukum yang lain seperti: hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, sosial, politik, ekonomi, budaya, pemerintahan, dan lain sebagainya. Mereka siap untuk mengikuti wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan ikhlas dan tawakal.
Kedua:
Di sisi lain, pada bulan Ramadhan, Allah SWT menurunkan wahyu berupa al-Quran pertama kali. Wahyu inilah yang merupakan sumber hukum untuk dijadikan pemimpin dan pemandu kehidupan.
Dengan tegas, Allah SWT berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu (bayyinat) dan pembeda (furqân) (antara haq dan batil). (QS al-Baqarah [2]: 185).
Ayat ini menjelaskan, bahwa al-Quran diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi umat manusia yang mengimaninya; dalil yang jelas dan tegas bagi mereka yang memahaminya, yang terlepas dari kebatilan dan kesesatan; juga merupakan pembeza antara yang haq dan batil, halal dan haram (Lihat: Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/269).
Al-Quran bukan kumpulan pengetahuan semata, tetapi juga petunjuk hidup bagi manusia. Al-Quran tidak hanya sekadar dibaca dan dihafalkan saja, melainkan harus dipahami dan diamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi saw. dalam berbagai hadisnya menegaskan, bahwa siapapun yang berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah tidak akan tersesat selama-lamanya.
Allah SWT berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul, ambillah; apa saja yang dilarang olehnya, tinggalkanlah! (QS al-Hasyr [59]: 7).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap perintah yang terdapat dalam al-Quran mutlak harus dilaksanakan, dan setiap larangannya harus ditinggalkan, baik terasa berat maupun terasa ringan. Yang tertanam dalam hati dan pikiran adalah, “Kami mendengar dan kami patuhi!” Alangkah ruginya orang yang memahami al-Quran tetapi tidak mengamalkannya. Demikian juga bagi orang yang senantiasa menyerukan Islam namun tidak menjalankan. Apalagi bagi orang yang menjadikan al-Quran sebagai ‘barang dagangan’, suka memelintir pemahaman di dalamnya, bahkan mengatakan al-Quran penuh dengan mitos dan buatan Muhammad. Sungguh, orang tersebut bukan hanya merugi, namun juga dilaknat oleh Allah. Jadi, pada bulan Ramadhan Allah SWT bukan sekadar memerintahkan kita berpuasa supaya kita bertakwa, tetapi juga menurunkan al-Quran sebagai sumber aturan untuk mencapai ketakwaan .
Ketiga:
Allah sungguh Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Dalam bulan Ramadhan pintu ampunan dibuka oleh Allah selebar-lebarnya, syaitan-syaitan dibelenggu agar tidak boleh menggoda manusia untuk berbuat mungkar, pintu-pintu syurga dibuka lebar-lebar, dan berbagai kenikmatan Allah dicurahkan. Dalam bulan ini juga terdapat satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Itulah malam Lailatul Qadar. Pada malam tersebut untuk pertama kalinya diturunkan al-Quran kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia; bukan hanya bagi kaum Muslim saja, tetapi juga berlaku bagi umat selain Islam. Itulah tanda rahmatan lil ‘alamin-nya Islam.
Wahai kaum Muslim: Bulan Ramadhan adalah bulan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Sudahkah kita menaati Allah SWT secara total? Ataukah kita masih tetap membiarkan hidup kita diatur oleh logik dan hawa nafsu kita? Relakah Ramadhan hanya merupakan bulan menahan lapar dan haus belaka? Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []